Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Foto Sidakarya Tempo Dulu

Foto-foto Sisi Kehidupan Sidakarya Tahun 80 .



BALE KULKUL PURA DALEM SUDHA SIDAKARYA


BALE KULKUL PURA DALEM SUDHA SIDAKARYA



WAJAH DESA SIDAKARYA TEMPO DULU (Koleksi Facebook: Bragie Bali)




HANSIP DESA SIDAKARYA DITAHUN 70 YANG DULU BERNAMA SWANDRA (KET: KETUT SANDI DAN WAYAN GERDUT)




SELAIN SEBAGAI PETANI, AKTIFITAS MASYARAKAT DESA SIDAKARYA PADA TAHUN 70 SAMPAI 90 ADALAH PENGERAJIN PATUNG (KET: WAYAN GERDUT DAN WAYAN SETA)




APEL UPACARA POLISI BERSAMA WAYAN GERDUT




ANAK-ANAK TK WIDYA KUMARA SIDAKARYA DILAPANGAN KARYA MANUNGGAL SIDAKARYA DENGAN LATAR BELAKANG SETRA SIDAKARYA




GAYA BERFOSE ANAK REMAJA DARI DESA SIDAKARYA DITAHUN 70 (KET.: WAYAN CANTING, MADE RUPI DAN WAYAN MUDRI)



GAYA BERFOSE PASANGAN REMAJA DARI DESA SIDAKARYA DITAHUN 70 (KET.: WAYAN GERDUT DAN WAYAN MUDRI)




GAYA BERFOSE PASANGAN REMAJA DARI DESA SIDAKARYA DITAHUN 70 (KET.: KETUT SANDI DAN WAYAN NAPRIK)




GAYA BERFOSE PASANGAN REMAJA DARI DESA SIDAKARYA DITAHUN 70 (KET.: KETUT SANDI DAN WAYAN NYANGGEL)




GAYA BERFOSE PASANGAN REMAJA DARI DESA SIDAKARYA DITAHUN 70 (KET.: WAYAN GERDUT DAN WAYAN RACIP)




KEGIATAN IBU-IBU DESA SIDAKARYA SAAT ADA KEGIATAN ADAT






PAKAIAN METATAH DI TAHUN 80 DI DESA SIDAKARYA (KET. MADE SARNI)




PAKAIAN METATAH DI TAHUN 80 DI DESA SIDAKARYA (KET. MADE SUMITRI)




PAKAIAN METATAH DI TAHUN 80 DI DESA SIDAKARYA (KET. NYOMAN SUMITRA)




PAKAIAN METATAH DI TAHUN 80 DI DESA SIDAKARYA




PAKAIAN METATAH DI TAHUN 80 DI DESA SIDAKARYA



PAKAIAN PROSESI MEKALAN-KALAN DI TAHUN 80 DI DESA SIDAKARYA (KET. NYOMAN KANTUN DAN KETUT SRI ADNYANI)




PAKAIAN PROSESI NGANTEN DI TAHUN 80 DI DESA SIDAKARYA (KET. NYOMAN KANTUN DAN KETUT SRI ADNYANI)




PAKAIAN PROSESI NGANTEN DI TAHUN 80 DI DESA SIDAKARYA (KET. NYOMAN PUNIA DAN KETUT WATI)




GAYA BERFOSE ANAK-ANAK DARI DESA SIDAKARYA DITAHUN 70










































Sejarah Patung dan Pelinggih di Setra Sidakarya

“Tabik Ratu Pekulun”
Setiap tempat atau bangunan pasti ada ceritanya ataupun sejarah asal usulnya, tempat-tempat tersebut akan memiliki sejarahnya masing-masing, begitu juga dengan sejarah Patung/Togog dan Pelinggih di Setra Sidakarya, yang letaknya di Sisi Timur Lapangan Sepak Bola Karya Manunggal Desa Sidakarya, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar. Keberadaan Patung di Setra Sidakarya ini dibuat oleh I Made Rabayasa dan di bantu oleh I Made Rubed dan I Wayan Rupeg pada tahun 1969, pada awalnya berkeinginan dibangun 3 (tiga) buah patung yaitu patung Birawa, patung Birawi dan patung Toktoksil, begitu dibuatkan patung yang pertama dengan posisi di timur menghadap ke barat entah kenapa saat memasuki akhir penyelesaian tiba-tiba patung itu rusak, begitu diperbaiki kembali rusak patung tersebut, merasa ada keanehan, pembuatan ketiga patung tersebut urung dilaksanakan, karena mendapat firasat lain, bekas patung pertama yang belum terbentuk sempurna tersebut, akhirnya dirubah begitu saja hingga menjadi wujud seorang perempuan dengan rambut panjang dan buah dada besar (gede lambih), setelah patung tersebut selesai, disuatu kesempatan datanglah I Pekak Ada, yang berasal dari Br Taman Sanur, untuk melihat patung ini dan entah kenapa I Pekak Ada, tiba-tiba kerahuan dan mepenika (mengatakan) agar patung ini di beri Wasta (nama ) Ratu Biang Gobleh atau singkatnya orang sering menyebut “Men Gobleh” .

Disuatu kesempatan, saat melintas I Pekak Kembar dari Suwung Kangin didepan Setra Sidakarya (sebelum lapangan sepak bola dibangun, dulu masih ada akses jalan depan Setra Sidakarya) melihat wajah patung tersebut berubah warna menjadi Merah-Hitam, melihat hal ini I Pekak Kembar menceritakan kejadian yang dilihat kepada I Made Rabayasa, bukan hanya I Pekak Kembar saja yang melihat keanehan ini, namun juga dilihat oleh I Wayan Roka yang sedang melintas di depan Setra Sidakarya, mendengar keanehan ini, akhirnya I Made Rabayasa merubah warna wajah patung ini menjadi “Merah-Hitam”, dimana yang menyumbangkan cat Merah-Hitam adalah I Wayan Roka sendiri, dan pada akhirnya patung ini selesai dibangun pada tanggal 5 Agustus 1969.


Dalam waktu berjalan kira-kira tahun 1971, dalam suatu kegiatan upacara, dimana salah satu sesepuh/penua pada waktu itu kerahuan dan mepenika (mengatakan) agar dibuatkan lagi satu buah patung wanita dengan paras cantik, kulit kuning langsat dan di beri Wasta (nama) “Ni Ratna sari - Ratna Juwita” atau orang kadang juga menyebut Gek-gek Tonggek, yang mana patung ini juga adalah salah satu anak dari Ratu Biang Gobleh, sesuai dengan petunjuk tersebut diatas, I Made Rabayasa kembali membuat sebuah patung duduk bersimpuh dengan posisi di utara menghadap ke selatan.



Diareal patung-patung ini ada juga Pelinggih Taksaka yaitu Pelinggih Pohon Kepuh dimana posisinya pelinggih ini berada posisi paling selatan dan Pelinggih Taksaka ini merupakan penukar Pohon Kepuh yang pernah ada dan tumbang kira-kira pada tanggal September 1955. Pohon Kepuh ini adalah Pohon Kepuh terbesar dan tertinggi yang pernah dimiliki oleh Desa Sidakarya dimana pada bagian batang bawah Pohon Kepuh ini ada sebuah lubang/goa dengan ruang yang cukup besar, bisa dibayangkan seberapa besar pohon ini, namun tiada yang kekal kehidupan didunia ini mungkin karena sudah tua akhirnya Pohon Kepuh ini tumbang juga dan saat tumbang arahnya menuju arah utara sehingga merusak sebagian Pelinggih Pura Dalem Sudha Sidakarya. Disamping Pelinggih Taksaka ada lagi satu pelinggih yang letaknya berada disamping utara Pelinggih Taksaka, menurut bebarapa sumber dulunya Pelinggih ini berada di tengah areal alang-alang (lapangan sepak bola sekarang), karena ada pembuatan lapangan sepak bola Desa Sidakarya melalui AMD XXI tahun 1986 (ABRI Menunggal Desa yang pelaksanaannya dimulai pada tanggal 1 sampai dengan 22 Juli 1986) akhirnya pelinggih yang dulunya berada ditengah alang-alang (sekarang Lapangan Sepak Bola) tersebut dipindah ke areal pelinggih sekarang. Disamping patung dan pelinggih tersebut, ada juga pelinggih yang berada di ujung selatan setra dan Pura Prajapati letaknya berada paling timur, yang merupakan pura pada umumnya di setiap setra masing-masing desa.

Banten Nunas Tirta Sidakarya

Banten Nunas Tirta Sidakarya
  1. Suci asoroh maulam bebek rateng
  2. Daksina kekalih
  3. Soda rayunan kekalih
  4. Peras penyeneng kekalih maulam ayam rateng
  5. Pengambian dan dapetan
  6. Sesayut sidakarya (Keterangannya dibawah ini)
  7. Jejauman asoroh
  8. Tegen-tegenan salaran bebek hidup dan ayam hidup
  9. Makta bumbung mawastra putih, madaging jinah bolong, benang tukelan dan
  10. Makta toples/ payuk anyar anggen genah tirta penggingsah karya

Sesayut Sidakarya Berisi:
  1. Kulit sayut
  2. Kelapa yang sudah dikuliti
  3. Telor bebek mateng
  4. Tumpeng meplekis putih 1 (satu) biji
  5. Kawangen 4 (empat) buah
  6. Tulung ngeleb 3 (tiga) buah
  7. Sampian penyeneng
  8. Sampia nagasari
  9. Pesucian payasan
  10. Cecarik/sesarik
  11. Padma
  12. Raka buah – buahan
  13. Jaja kukus putih - kuning dan jajan lain – lainnya
  14. Tipat sidakarya
  15. Tipat sirikan
  16. Untir
  17. Kojong rangkadan
  18. Rasmen




Silsilah Dalem Sidakarya

Ida Dalem Sidakarya Dalam, lontar disebutkan bahwa Beliau kawin Artikel Baru seorang Bidadari. Bahasa Dari Perkawinan nihil menurunkan seorang putra Yang Bernama "Ida Brahmana Hari". Brahmana Hari INILAH Generasi Beliau terakhir Dan selanjutnya Putus. Bahasa Dari itulah regular tidak ADA keturunan Dalem Sidakarya Wire color Kawat warna sekarang (secara lahiriah) namun secara maya (Niskala) beliau Tetap ADA Dan Melinggih di Pura Dalem Sidakarya Mutering Jaghat Dan Beliau sebagai Pendeta (Peranda) Niskala (maya) Yang berada (nyeneng) di Desa Sidakarya tepatnya di "Pura Dalem Sidakarya Mutering Jaghat" Karena, beliau moksa di TEMPAT inisial. Adapun Silsilah Dalem Sidakarya dapat digambarkan sebagai berikut:


Hubungan Kekeluargaan Panjer dan Sidakarya


Diceritakanlah seorang raja yaitu Arya Tegeh Kori memerintah di Wilayah Badung, dalam menjalankan roda pemerintahan beliau mempunyai permaisuri pengarep dan beberapa Pranami (selir). Salah satu diantaranya yang bernama Si Luh Semi Putri tunggal dari Kiayi Dukuh Melandang (Patih Arya Tegeh Kori). Pada suatu hari terjadilah percekcokan dan saling fitnah di Puri maka pada saat Si Luh Semi sedang mengandung diperintahkan Kiayi Dukuh Melandang membunuh I Luh Semi yang tidak lain adalah anaknya sendiri, karena perintah raja Kiayi Dukuh Melandang tetap menjalankan tugasnya walaupun yang di bunuh adalah anak kandungnya sendiri.

Akhirnya I Luh Semi diantar ke Alas (Hutan), sesampainya di tengah hutan begitu I Luh Semi hendak dibunuh oleh Kiayi Dukuh Melandang selalu dihadang - hadang oleh seekor anjing hitam, dan pada akhirnya anjing itulah yang dibunuh serta diupacarai layaknya seperti manusia. Ditempat itu dinamai setra (sema) Buung Keneng yang artinya Buung = Urung = Batal , Keneng = Keneh = Pikiran.

Karena tidak jadi dibunuh akhirnya I Luh Semi ditinggalkan dihutan dan tetap hidup serta mengungsi ke Alas Nyanggelan dan melahirkan seorang putra serta mulai saat itulah Sentana Si Luh Semi tidak dibenarkan memelihara serba hitam seperti : menanam injin (ketan hitam), gudem, memelihara anjing hitam pekat, ayam hitam dan lain-lain. .

Singkat cerita setelah anak Ni Luh Semi mulai tumbuh dewasa dan diberi nama I Gusti Ngurah Pakuwon maka mulailah menata daerah tempat kelahiran beliau dengan membangun pelinggih tempat pemujaan sebagaimana konsep Tri Hita Karana serta memperluas wilayah sampai bagian selatan (= Sidakarya). Selanjutnya dari I Gusti Ngurah Pakuwon menurunkan 4 orang putra antara lain :
  1. I Gusti Wayan Nataran (di Nataran Panjer)
  2. I Gusti Made Pakuwonan (di Pakuwon Panjer)
  3. I Gusti Nyoman Ngukuhin (di Celuk Panjer)
  4. I Gusti Ketut Alit Pinatih (di Sidakarya)
Setelah kakak-kakak I Gusti Ketut Alit Penatih semuanya pada beristri, dia tidak pernah tinggal menetap, selalu berpindah-pindah, kadang-kadang satu bulan di tempat kakak tertua, satu bulan pada kakak nomor dua dan seterusnya. Dan setelah I Gusti Ali Pinatih mempunyai istri mulailah beliau menetap dan tinggal di bagian paling selatan ( = Sidakarya sekarang). dengan menata wilayah ini dimana banyak di tumbuhi pohon pandan (selengkapnya Sidakarya berganti nama dari Badanda Negara menjadi Sidakarya) batas yang tegas antara lain : sisi Barat Tukad Rangda (= janda Luh Semi), Utara jelinjing (=Panjer), Timur jelinjing (intaran), Selatan sampai pada Hutan bakau (laut) selat Badung. Selanjutnyai I Gusti Ketut Alit Pinatih menurunkan putra 7 orang diantaranya :
  1. I Gusti Gede Bendesa
  2. I Gusti Made Penatih
  3. I Gusti Nyoman Penyarikan
  4. I Gusti Ketut Kayu Mas
  5. I Gusti Wayan Pekandelan
  6. I Gusti Made Kemoning
  7. I Gusti Alit Meranggi
Selanjutnya pada waktu itu keturunan I Gusti Ketut Alit Pinatih ini dibebani nyanggra/ngarep Parhyangan Pura Mutering Jaghat Dalem Sidakarya.