Pantangan di Desa Sidakarya


Mule gumi tenget, memang angker dibangun dari banten adalah persembahan, Bali adalah Wali, Demikian orang mengurai tentang Bali sebagai pertanyaan bahwa di setiap jengkal tanah memiliki aura tersendiri dengan ketengetan masing-masing. Dan dalam hubungannya dengan sebutan masing-masing. Masyarakat memiliki berbagai kewajiban untuk menyelaraskan hubungan secara niskala serta terdapat berbagai macam pantangan.Ini tidak sama di setiap desa.

Seperti halnya desa Sidakarya, Denpasar Selatan. Sebuah desa yang dahulunya sangat sepi karena berbatasan dengan rawa-rawa hutan bakau di pinggir selatan wilayah Badung. Ini adalah salah satu gumi tenget di Denpasar. Tidak seperti halnya desa-desa yang lainnya yang agraris dimana penduduknya dengan leluasa memelihara banyak hewan piaraan seperti babi, sapi, kerbau, itik, kambing, atau hewan-hewan hutan lainnya seperti bojog. Tetapi untuk daerah Sidakarya, hal ini adalah menjadi pantangan.

Di Desa Sidakarya secara turun-temurun ada kepercayaan bahwa masyarakat pantang memelihara Bangkung (babi betina), Kambing, Kerbau, Bojog, Jaran, dan Angsa.
Kenapa dilarang memelihara bangkung?, Hal ini terkait dengan keberadaan Unen-unen ancangan Ida Betara yang berupa Babi Pura Bedulu di desa Sidakarya, dalam sejarahnyapun berhubungan dengan sejarah Dalem Bedahulu diceritakan memiliki wajah mirip babi, karena keberadaan Unen-unen Ancangan Ida Betara yang berupa Babi yang menjadi pantangan memelihara Babi (bangkung) Di pura tersebut suatu ketika terdapat peguyangan atau tempat berkubangnya Bangkung. Dipercaya, bahwa besoknya biasanya ada Kucit atau anak babi yang muncul disana. Biasanya bagi yang melanggar pantangan ini, maka sering terjadi musibah pada pemeliharaannya, atau pada bangkungnya sendiri.

Kemudian mengenai pantangan memelihara jaran, dikaitkan dengan adanya sebuah pelinggih pagedogan jaran di kawasan Desa Sidakarva, yakni di sekitar jalan Kerta Dalem sekarang. Di Pura ini ada Pelinggihan Pagedogan Jaran, yang mana merupakan tempat atau bersemayamnya Unen-unen Ida Betara yang berupa Jaran (kuda). Disamping itu keterkaitan adanya sumur di sekitar pura Besakih Sidakarya. Dimana air sumur tersebut tidak pernah kotor, walaupun di sekitarnya banyak pepohonan yang menyelimutinya. Dan daun dari pohon tidak ada yang jatuh ke sumur tersebut. Konon sumur tersebut digunakan untuk memandikan Jaran (kuda) dari Raja Badung ketika berkeliling wilayah untuk meninjau keadaan masyarakat. Dengan keberadaan hal ini apabila pantangan di langgar maka seringkali kuda yang dipelihara menjadi sakit atau mati.

Mengenai pantangan memelihara kerbau terkait dengan cerita seorang pengangon (pengembala) yang kehilangan kerbaunya ketika diangon (digembala). Orang tersebut telah mencarinya kemana-mana bahkan sampai ke desa Sidakarya. Di desa Sidakarya orang tersebut kemudian masesangi (berkaul). Apabila kerbau saya ketemu, maka saya akan membuat pelinggih dimana kerbau itu ditemukan. Dengan sesangi tersebut rupanya Ida Betara berkenan dan didapatkannya kerbau tersebut berada di bawah sebuah pohon kresek. Sehingga untuk memenuhi janjinva maka orang tersebut membuat pelinggih di bawah pohon kresek tersebut, dikenal dengan nama Pura Kresek sebagai linggih dari Ida Betara Dalem Ped, dan Pelinggih Rare Angon. Apabila larangan ini dilanggar, maka seringkali pemeliharanya akan mengalami musibah seperti tiba-tiba kerbaunya galak dan menyeruduk pemiliknya, atau tak disangka tali kerbau tersebut memutar dan melilit pemiliknya atau mungkin kerbaunya sakit, mati, atau hilang.

Mengenai pantangan memelihara bojog (kera), karena terkait dengan Unen-unen atau Ancangan Ida betara di Kayangan. Demikian pula dengan kambing, terkait dengan Unen­-unen Ida Betara. Bahkan ada kejadian bahwa seorang warga yang memelihara kambing dan ketika suatu malam ia memeriksa kambingnya, ternyata kambingnya banyak sekali jumlahnya. Artinya banyak sekali kambing siluman. Entah itu unen-unen dari Ida Betara ataukah kambing jadi-jadian. Sehingga dengan demikian masyarakat menjadi pantang memeliara kambing.

Kalau mengenai angsa, ini hanya sebagai penghormatan dari Wahana Ida Betara yang melinggih di Jagad Nata. Dan kalau misalnya itu dilanggar, maka seringkali akan atau mencelakai. Cepat atau lambat.

Itulah pantangan yang dipercaya oleh masyarakat Desa Sidakarya yang masih dipegang sampai sekarang. Karena melanggar pantangan itu akan menyebabkan adanya suatu kecelakaan baik dari hewan peliharaan ataupun orang yang memelihara. 

Namun sesuai dengan perkembangan jaman dan bertambahnya penduduk baru yang tinggal di wilayah Sidakarya sering tidak mengetahui pantangan tersebut, namun hal ini diserahkan kepada pribadi masing-masing. Dan semuanya itu adalah masalah rasa dari masing-masing orang. Namun bagi kalangan masyarakat Sidakarya wed (asli), maka kepercayaan tersebut tetap dipegang.

Baca juga artikel menarik lainnya :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar