Hubungan Kekeluargaan Panjer dan Sidakarya


Diceritakanlah seorang raja yaitu Arya Tegeh Kori memerintah di Wilayah Badung, dalam menjalankan roda pemerintahan beliau mempunyai permaisuri pengarep dan beberapa Pranami (selir). Salah satu diantaranya yang bernama Si Luh Semi Putri tunggal dari Kiayi Dukuh Melandang (Patih Arya Tegeh Kori). Pada suatu hari terjadilah percekcokan dan saling fitnah di Puri maka pada saat Si Luh Semi sedang mengandung diperintahkan Kiayi Dukuh Melandang membunuh I Luh Semi yang tidak lain adalah anaknya sendiri, karena perintah raja Kiayi Dukuh Melandang tetap menjalankan tugasnya walaupun yang di bunuh adalah anak kandungnya sendiri.

Akhirnya I Luh Semi diantar ke Alas (Hutan), sesampainya di tengah hutan begitu I Luh Semi hendak dibunuh oleh Kiayi Dukuh Melandang selalu dihadang - hadang oleh seekor anjing hitam, dan pada akhirnya anjing itulah yang dibunuh serta diupacarai layaknya seperti manusia. Ditempat itu dinamai setra (sema) Buung Keneng yang artinya Buung = Urung = Batal , Keneng = Keneh = Pikiran.

Karena tidak jadi dibunuh akhirnya I Luh Semi ditinggalkan dihutan dan tetap hidup serta mengungsi ke Alas Nyanggelan dan melahirkan seorang putra serta mulai saat itulah Sentana Si Luh Semi tidak dibenarkan memelihara serba hitam seperti : menanam injin (ketan hitam), gudem, memelihara anjing hitam pekat, ayam hitam dan lain-lain. .

Singkat cerita setelah anak Ni Luh Semi mulai tumbuh dewasa dan diberi nama I Gusti Ngurah Pakuwon maka mulailah menata daerah tempat kelahiran beliau dengan membangun pelinggih tempat pemujaan sebagaimana konsep Tri Hita Karana serta memperluas wilayah sampai bagian selatan (= Sidakarya). Selanjutnya dari I Gusti Ngurah Pakuwon menurunkan 4 orang putra antara lain :
  1. I Gusti Wayan Nataran (di Nataran Panjer)
  2. I Gusti Made Pakuwonan (di Pakuwon Panjer)
  3. I Gusti Nyoman Ngukuhin (di Celuk Panjer)
  4. I Gusti Ketut Alit Pinatih (di Sidakarya)
Setelah kakak-kakak I Gusti Ketut Alit Penatih semuanya pada beristri, dia tidak pernah tinggal menetap, selalu berpindah-pindah, kadang-kadang satu bulan di tempat kakak tertua, satu bulan pada kakak nomor dua dan seterusnya. Dan setelah I Gusti Ali Pinatih mempunyai istri mulailah beliau menetap dan tinggal di bagian paling selatan ( = Sidakarya sekarang). dengan menata wilayah ini dimana banyak di tumbuhi pohon pandan (selengkapnya Sidakarya berganti nama dari Badanda Negara menjadi Sidakarya) batas yang tegas antara lain : sisi Barat Tukad Rangda (= janda Luh Semi), Utara jelinjing (=Panjer), Timur jelinjing (intaran), Selatan sampai pada Hutan bakau (laut) selat Badung. Selanjutnyai I Gusti Ketut Alit Pinatih menurunkan putra 7 orang diantaranya :
  1. I Gusti Gede Bendesa
  2. I Gusti Made Penatih
  3. I Gusti Nyoman Penyarikan
  4. I Gusti Ketut Kayu Mas
  5. I Gusti Wayan Pekandelan
  6. I Gusti Made Kemoning
  7. I Gusti Alit Meranggi
Selanjutnya pada waktu itu keturunan I Gusti Ketut Alit Pinatih ini dibebani nyanggra/ngarep Parhyangan Pura Mutering Jaghat Dalem Sidakarya.

Pantangan di Desa Sidakarya


Mule gumi tenget, memang angker dibangun dari banten adalah persembahan, Bali adalah Wali, Demikian orang mengurai tentang Bali sebagai pertanyaan bahwa di setiap jengkal tanah memiliki aura tersendiri dengan ketengetan masing-masing. Dan dalam hubungannya dengan sebutan masing-masing. Masyarakat memiliki berbagai kewajiban untuk menyelaraskan hubungan secara niskala serta terdapat berbagai macam pantangan.Ini tidak sama di setiap desa.

Seperti halnya desa Sidakarya, Denpasar Selatan. Sebuah desa yang dahulunya sangat sepi karena berbatasan dengan rawa-rawa hutan bakau di pinggir selatan wilayah Badung. Ini adalah salah satu gumi tenget di Denpasar. Tidak seperti halnya desa-desa yang lainnya yang agraris dimana penduduknya dengan leluasa memelihara banyak hewan piaraan seperti babi, sapi, kerbau, itik, kambing, atau hewan-hewan hutan lainnya seperti bojog. Tetapi untuk daerah Sidakarya, hal ini adalah menjadi pantangan.

Di Desa Sidakarya secara turun-temurun ada kepercayaan bahwa masyarakat pantang memelihara Bangkung (babi betina), Kambing, Kerbau, Bojog, Jaran, dan Angsa.
Kenapa dilarang memelihara bangkung?, Hal ini terkait dengan keberadaan Unen-unen ancangan Ida Betara yang berupa Babi Pura Bedulu di desa Sidakarya, dalam sejarahnyapun berhubungan dengan sejarah Dalem Bedahulu diceritakan memiliki wajah mirip babi, karena keberadaan Unen-unen Ancangan Ida Betara yang berupa Babi yang menjadi pantangan memelihara Babi (bangkung) Di pura tersebut suatu ketika terdapat peguyangan atau tempat berkubangnya Bangkung. Dipercaya, bahwa besoknya biasanya ada Kucit atau anak babi yang muncul disana. Biasanya bagi yang melanggar pantangan ini, maka sering terjadi musibah pada pemeliharaannya, atau pada bangkungnya sendiri.

Kemudian mengenai pantangan memelihara jaran, dikaitkan dengan adanya sebuah pelinggih pagedogan jaran di kawasan Desa Sidakarva, yakni di sekitar jalan Kerta Dalem sekarang. Di Pura ini ada Pelinggihan Pagedogan Jaran, yang mana merupakan tempat atau bersemayamnya Unen-unen Ida Betara yang berupa Jaran (kuda). Disamping itu keterkaitan adanya sumur di sekitar pura Besakih Sidakarya. Dimana air sumur tersebut tidak pernah kotor, walaupun di sekitarnya banyak pepohonan yang menyelimutinya. Dan daun dari pohon tidak ada yang jatuh ke sumur tersebut. Konon sumur tersebut digunakan untuk memandikan Jaran (kuda) dari Raja Badung ketika berkeliling wilayah untuk meninjau keadaan masyarakat. Dengan keberadaan hal ini apabila pantangan di langgar maka seringkali kuda yang dipelihara menjadi sakit atau mati.

Mengenai pantangan memelihara kerbau terkait dengan cerita seorang pengangon (pengembala) yang kehilangan kerbaunya ketika diangon (digembala). Orang tersebut telah mencarinya kemana-mana bahkan sampai ke desa Sidakarya. Di desa Sidakarya orang tersebut kemudian masesangi (berkaul). Apabila kerbau saya ketemu, maka saya akan membuat pelinggih dimana kerbau itu ditemukan. Dengan sesangi tersebut rupanya Ida Betara berkenan dan didapatkannya kerbau tersebut berada di bawah sebuah pohon kresek. Sehingga untuk memenuhi janjinva maka orang tersebut membuat pelinggih di bawah pohon kresek tersebut, dikenal dengan nama Pura Kresek sebagai linggih dari Ida Betara Dalem Ped, dan Pelinggih Rare Angon. Apabila larangan ini dilanggar, maka seringkali pemeliharanya akan mengalami musibah seperti tiba-tiba kerbaunya galak dan menyeruduk pemiliknya, atau tak disangka tali kerbau tersebut memutar dan melilit pemiliknya atau mungkin kerbaunya sakit, mati, atau hilang.

Mengenai pantangan memelihara bojog (kera), karena terkait dengan Unen-unen atau Ancangan Ida betara di Kayangan. Demikian pula dengan kambing, terkait dengan Unen­-unen Ida Betara. Bahkan ada kejadian bahwa seorang warga yang memelihara kambing dan ketika suatu malam ia memeriksa kambingnya, ternyata kambingnya banyak sekali jumlahnya. Artinya banyak sekali kambing siluman. Entah itu unen-unen dari Ida Betara ataukah kambing jadi-jadian. Sehingga dengan demikian masyarakat menjadi pantang memeliara kambing.

Kalau mengenai angsa, ini hanya sebagai penghormatan dari Wahana Ida Betara yang melinggih di Jagad Nata. Dan kalau misalnya itu dilanggar, maka seringkali akan atau mencelakai. Cepat atau lambat.

Itulah pantangan yang dipercaya oleh masyarakat Desa Sidakarya yang masih dipegang sampai sekarang. Karena melanggar pantangan itu akan menyebabkan adanya suatu kecelakaan baik dari hewan peliharaan ataupun orang yang memelihara. 

Namun sesuai dengan perkembangan jaman dan bertambahnya penduduk baru yang tinggal di wilayah Sidakarya sering tidak mengetahui pantangan tersebut, namun hal ini diserahkan kepada pribadi masing-masing. Dan semuanya itu adalah masalah rasa dari masing-masing orang. Namun bagi kalangan masyarakat Sidakarya wed (asli), maka kepercayaan tersebut tetap dipegang.

Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya

Pura Mutering Jaghat Dalem Sidakarya adalah salah satu Pura Kayangan Jaghat yang berada di Jalan Dewata, Desa Pekraman Sidakarya, Denpasar Selatan,

Pengempon pura ini terdiri dari Warga Desa Pekraman Sidakarya. dengan lima banjar adat, yaitu Br

Topeng Sidakarya

Seperti diceritakan dalam Babad Dalem Sidakarya karangan I Nyoman Kantun, SH MM dan Drs. I Ketut Yadnya terbitan PT Upada Sastra pada tahun 2003 bahwa Topeng Sidakarya adalah Wali dan simbol perwujudan Brahmana Keling yang melakukan perjalanan ke Madura, Bali, dan terakhir menuju Badanda Negara atau Sidakarya sekarang. Begitu sampai di Bali tepatnya di Besakih Beliau di usir oleh Dalem waturengong yang sedang melaksanakan Upacara di Besakih, merasa diusir dan tidak diakui sebagai Saudara Dalem Waturenggong, merasa diperlakukan sepeti ini Brahmana Keling sebelum pergi mengeluarkan Kutukan atau pastu agar karya tersebut tidak berhasil atau tan sidakarya, bumi dalam kekeringan, hama dan warga kesakitan, apa yang diucapkan Brahmana Keling menjadi kenyataan, untuk mengembalikan keadaan ini atas perintah Dalem Waturenggong di carilah Brahmana Keling yang berada di Bandanda Negara (sekarang Sidakarya) dan akhirnya atas kesidian Brahmana Keling dapat mengembalikan keadaan seperti semula.
untuk menghormati dan sebagai kenangan untuk selanjutnya dibuatkanlah topeng atau tapel oleh pemerintahan Dalem Waturenggong, akhirnya beliau memerintahkan Pasek Akeluddadah untuk pertama kalinya membuat tapel (topeng) yang menggambarkan Sang Tiga Sakti yaitu beliau bertiga, ini merupakan suatu filsafat yang kira-kira artinya begini : Akelud artinya : penyucian = pembersihan =penglukatan = pemarisudha. Dadah artinya : air = air suci (tirta).

Jadi Akeluddadah merupakan tirta pemarisudha atau penyucian / penglukatan segala bentuk mala, lara, roga yang dibuat / disimboliskan melalui tapel / topeng yang dipentaskan berupa tarian sakral pada setiap pelaksanaan karya / yadnya. Karena I Pasek ini berjasa membuat tapel Akeluddadah maka sering beliau disebut I Pasek Akeluddadah. Oleh karena itulah rentetan tirta Sidakarya perlu dibarengi dengan pementasan Topeng Sidakarya. .

Namun perlu diketahui bahwa sampai saat ini belum pemah diketemukan tapel / topeng pertama kali tersebut (yang dibuat oleh I Pasek Akeluddadah) entah dimana keberadaannya dan siapa yang menyimpannya. .

Seperti tersurat di atas bahwa demi kesempurnaan karya pada penutupannya dipentaskan Wali Topeng Sidakarya sebagai ciri pemuput karya. Dalam tarian Topeng Sidakarya ada penari sendirian (memqjeg) ada juga lebih dari satu itu tergantung keadaan. Dalam pementasan Topeng Sidakarya tokoh penting yang ditampilkan adalah :
  1. Tokoh Dang Hyang Nirartha sebagai Pendeta.
  2. Tokoh Ida Dalem Waturenggong sebagai Penguasa Raja / Prabu.
  3. Tokoh Dalem Sidakarya sendiri.

Ketiga tokoh tersebut digambarkan sebagai "Sang Tiga Sakti". Justru penulis berpendapat lebih bahwa ketiga tokoh tersebut merupakan Tiga Serangkai mensejahterakan Jagat Bali, dan terbukti bahwa jaman keemasan kerajaan Bali (Jaman Pertengahan) adalah pada saat "Kekuasaan Dalem Waturenggong". Disamping itu beliau bertiga sebenarnya sudah menerapkan konsep Tri Hita Karana (seperti ajaran Mpu Kuturan) dalam peran dan fungsi beliau masing¬masing seperti :
  1. Dang Hyang Nirartha sebagai Pembina Spiritual / Keagamaan = Parhyangan.
  2. Dalem Waturenggong sebagai Penguasa / Prabu memegang Tata Pemerintahan = Pawongan.
  3. Dalem Sidakarya sebagai Penguasa Alam dan Lingkungan beserta isinya = Palemahan.
Ketiga tokoh tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan yang saling mendukung serta sebagai panutan dan patut kita hormati serta junjung untuk selamanya.

Tipe Topeng Sidakarya
  1. Warna Putih.
  2. Mata topeng sipit.
  3. Gigi jongos.
  4. Wajah setengah manusia setengah demanik-Rambut panjang sebahu (gombrang).
  5. Memakai krudung merajah.
  6. Penari biasanya membawa bokoran berisi canang sari, dupa, beras kuning, sekar ura, sebagai simbol kedarmawanan.
Menari dangkrak-dingkrik dilanjutkan nangkap (ngejuk) anak kecil / penonton diberikan upah uang kepeng ; artinya "Sebagai simbolis mengobati orang sakit serta diberikan kesejahteraan (= mengobati tidak menerima upah). Dan juga diartikan sebagai simbolis siklus kehidupan tiada hentinya dari kelahiran (punarbhawa) yaitu lahir, kecil, muda,tua, mati. .

Setelah itu ngucap (Nguncaran Mantra) yang isinya : "Dadia punang ikang kalan nira, mail Dalem Sidakarya, kadi gelap dumereping randu raja menala, gumeter ikang pretiwi apah teja bayu akasa, lintang trangjana ketekeng surya senjana metu aku saking Mutering Jaghat Sudha butha kala liak, desti teluh trangiana pada nembah tanwani teken aku, apan aku mawak pemari sudha jaghat. Sakuwehing mala, lara, roga, wigena pada geseng. Ong, Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang. .

Setelah nguncaran Mantra tersebut dilanjutkan dengan menebar (nyambehin) beras kuning. Artinya memberikan laba kepada para Bhuta Kala supaya tidak mengganggu ketentraman hidup manusia, Berta menebarkan kesejahteraan pada umat manusia sehingga ketemu rahayuning jagat. Serta dibarengi dengan penebaran sekar ura artinya adalah sebagai simbul medana-dana (bersedekah kepada semua unsur kekuatan butha demi kelancaran upacara. Dengan selesainya pementasan Topeng Sidakarya maka tuntaslah sudah segala rangkaian pelaksanaan karya yang disebut "SIDAKARYA"..