Topeng Sidakarya

Seperti diceritakan dalam Babad Dalem Sidakarya karangan I Nyoman Kantun, SH MM dan Drs. I Ketut Yadnya terbitan PT Upada Sastra pada tahun 2003 bahwa Topeng Sidakarya adalah Wali dan simbol perwujudan Brahmana Keling yang melakukan perjalanan ke Madura, Bali, dan terakhir menuju Badanda Negara atau Sidakarya sekarang. Begitu sampai di Bali tepatnya di Besakih Beliau di usir oleh Dalem waturengong yang sedang melaksanakan Upacara di Besakih, merasa diusir dan tidak diakui sebagai Saudara Dalem Waturenggong, merasa diperlakukan sepeti ini Brahmana Keling sebelum pergi mengeluarkan Kutukan atau pastu agar karya tersebut tidak berhasil atau tan sidakarya, bumi dalam kekeringan, hama dan warga kesakitan, apa yang diucapkan Brahmana Keling menjadi kenyataan, untuk mengembalikan keadaan ini atas perintah Dalem Waturenggong di carilah Brahmana Keling yang berada di Bandanda Negara (sekarang Sidakarya) dan akhirnya atas kesidian Brahmana Keling dapat mengembalikan keadaan seperti semula.
untuk menghormati dan sebagai kenangan untuk selanjutnya dibuatkanlah topeng atau tapel oleh pemerintahan Dalem Waturenggong, akhirnya beliau memerintahkan Pasek Akeluddadah untuk pertama kalinya membuat tapel (topeng) yang menggambarkan Sang Tiga Sakti yaitu beliau bertiga, ini merupakan suatu filsafat yang kira-kira artinya begini : Akelud artinya : penyucian = pembersihan =penglukatan = pemarisudha. Dadah artinya : air = air suci (tirta).

Jadi Akeluddadah merupakan tirta pemarisudha atau penyucian / penglukatan segala bentuk mala, lara, roga yang dibuat / disimboliskan melalui tapel / topeng yang dipentaskan berupa tarian sakral pada setiap pelaksanaan karya / yadnya. Karena I Pasek ini berjasa membuat tapel Akeluddadah maka sering beliau disebut I Pasek Akeluddadah. Oleh karena itulah rentetan tirta Sidakarya perlu dibarengi dengan pementasan Topeng Sidakarya. .

Namun perlu diketahui bahwa sampai saat ini belum pemah diketemukan tapel / topeng pertama kali tersebut (yang dibuat oleh I Pasek Akeluddadah) entah dimana keberadaannya dan siapa yang menyimpannya. .

Seperti tersurat di atas bahwa demi kesempurnaan karya pada penutupannya dipentaskan Wali Topeng Sidakarya sebagai ciri pemuput karya. Dalam tarian Topeng Sidakarya ada penari sendirian (memqjeg) ada juga lebih dari satu itu tergantung keadaan. Dalam pementasan Topeng Sidakarya tokoh penting yang ditampilkan adalah :
  1. Tokoh Dang Hyang Nirartha sebagai Pendeta.
  2. Tokoh Ida Dalem Waturenggong sebagai Penguasa Raja / Prabu.
  3. Tokoh Dalem Sidakarya sendiri.

Ketiga tokoh tersebut digambarkan sebagai "Sang Tiga Sakti". Justru penulis berpendapat lebih bahwa ketiga tokoh tersebut merupakan Tiga Serangkai mensejahterakan Jagat Bali, dan terbukti bahwa jaman keemasan kerajaan Bali (Jaman Pertengahan) adalah pada saat "Kekuasaan Dalem Waturenggong". Disamping itu beliau bertiga sebenarnya sudah menerapkan konsep Tri Hita Karana (seperti ajaran Mpu Kuturan) dalam peran dan fungsi beliau masing¬masing seperti :
  1. Dang Hyang Nirartha sebagai Pembina Spiritual / Keagamaan = Parhyangan.
  2. Dalem Waturenggong sebagai Penguasa / Prabu memegang Tata Pemerintahan = Pawongan.
  3. Dalem Sidakarya sebagai Penguasa Alam dan Lingkungan beserta isinya = Palemahan.
Ketiga tokoh tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan yang saling mendukung serta sebagai panutan dan patut kita hormati serta junjung untuk selamanya.

Tipe Topeng Sidakarya
  1. Warna Putih.
  2. Mata topeng sipit.
  3. Gigi jongos.
  4. Wajah setengah manusia setengah demanik-Rambut panjang sebahu (gombrang).
  5. Memakai krudung merajah.
  6. Penari biasanya membawa bokoran berisi canang sari, dupa, beras kuning, sekar ura, sebagai simbol kedarmawanan.
Menari dangkrak-dingkrik dilanjutkan nangkap (ngejuk) anak kecil / penonton diberikan upah uang kepeng ; artinya "Sebagai simbolis mengobati orang sakit serta diberikan kesejahteraan (= mengobati tidak menerima upah). Dan juga diartikan sebagai simbolis siklus kehidupan tiada hentinya dari kelahiran (punarbhawa) yaitu lahir, kecil, muda,tua, mati. .

Setelah itu ngucap (Nguncaran Mantra) yang isinya : "Dadia punang ikang kalan nira, mail Dalem Sidakarya, kadi gelap dumereping randu raja menala, gumeter ikang pretiwi apah teja bayu akasa, lintang trangjana ketekeng surya senjana metu aku saking Mutering Jaghat Sudha butha kala liak, desti teluh trangiana pada nembah tanwani teken aku, apan aku mawak pemari sudha jaghat. Sakuwehing mala, lara, roga, wigena pada geseng. Ong, Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang. .

Setelah nguncaran Mantra tersebut dilanjutkan dengan menebar (nyambehin) beras kuning. Artinya memberikan laba kepada para Bhuta Kala supaya tidak mengganggu ketentraman hidup manusia, Berta menebarkan kesejahteraan pada umat manusia sehingga ketemu rahayuning jagat. Serta dibarengi dengan penebaran sekar ura artinya adalah sebagai simbul medana-dana (bersedekah kepada semua unsur kekuatan butha demi kelancaran upacara. Dengan selesainya pementasan Topeng Sidakarya maka tuntaslah sudah segala rangkaian pelaksanaan karya yang disebut "SIDAKARYA"..

Sejarah Dalem Sidakarya

Di suatu desa/daerah yang bernama Keling ada pendeta yang sangat termahsyur tentang kebenaran utama yang mempunyai “Ilmu Kelepasan Jiwa”. Disebut Brahmana Keling karena beliau berasal dari Daerah Keling, Jawa Timur. Beliau juga mendirikan pesraman/pertapaan di lereng Gunung Bromo. Brahmana Keling adalah putra dari Danghyang Kayumanis, cucu dari Empu Candra, kumpi dari Mpu Bahula dan cicit dari Empu Beradah. Tetapi sampai saat ini belum ada yang tahu nama beliau yang sebenarnya, karena beliau berasal dari Keling maka beliau disebut “Brahmana Keling”.
Dalam Perjalanan beliau dari tanah Jawa ke Bali sampailah beliau di suatu Desa pesisir pantai yaitu Desa Muncar. Di sini beliau sejenak beristirahat sambil menikmati keindahan panorama selat Bali, yang menambat hati beliau akan keindahan alam laut dan pegunungan Pulau Bali. Tak dinyana sebelumnya di hadapan beliau tiba-tiba muncul ayahnya (Dang Hyang Kayumanis). Sang Ayah bercerita panjang tentang keberadaannya di Nusa Bali, bahwa di Bali sekarang ini di Kerajaan Gelgel yang menjadi Raja adalah Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha yang mendampingi Dalem Waturenggong sebagai penasehat dalam bidang keagamaan (kerohanian) yang akan melaksanakan Upacara (Karya Eka Dasa Rudra di Pura Besakih).

Mendengar Sang Ayah bercerita demikian, lalu pertemuan Dang Hyang Kayumanis dengan anaknya Brahmana Keling di Desa Muncar sudah selesai sekaligus merupakan pertemuan yang terakhir. Sang Ayah melanjutkan perjalanan menuju ke Pesraman di Jawa Timur (Daerah Keling) sedangkan Brahmana Keling selanjutnya menuju pulau Bali menuju di Keraton Gelgel.

Tentang perjalanan Brahmana Keling menuju Bali lanjut ke Keraton Gelgel tidaklah ada yang tahu apakah beliau menggunakan apa ? Jejak-jejak perjalanan beliau dimana ? Kemana ? dan sebagainya. Singkat cerita sampailah di Keraton Gelgel, namun sayang sesampainya Brahmana Keling di Gelgel Keraton dalam keadaan sepi, beliau lalu diterima oleh beberapa pemuka masyarakat yang ada di Keraton.

Dalam keadaan yang lesu, lusuh dan pakaian yang serba kumel dan kotor Brahmana Keling menjawab, bahwa beliau bermaksud menemui saudaranya tidak lain adalah Sang Prabu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha. Karena Sang Prabu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha tidak ada di Keraton maka pemuka masyarakat yang menyapa tersebut mempersilahkan Brahmana Keling menuju Pura Besakih, sebab Sang Prabu dan Dang Hyang Nirartha ada disana sedang sibuk dengan para pengiringnya mempersiapkan pengadaan upacara (wali) Eka Dasa Rudra di Pura Besakih. Selanjutnya Sang Brahmana meneruskan perjalanan menuju Pura Besakih. Sesampainya di pelataran pura, lagi beliau disapa oleh masyarakat para pengayang yang ada, di Pura.

Brahmana Keling menjawab sama, bahwa beliau ingin menemui saudaranya Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha yang katanya sedang ada di Pura. Masyarakat tadi pun belum berani menghadap Dalem karena ia beranggapan bahwa orang yang datang dalam keadaan begini tidak mungkin saudara Sang Prabu maupun Dang Hyang Nirartha, bahkan masyarakat sangat tersinggung dengan pengakuan sang Brahmana ini yang mengaku-ngaku bersaudara dengan Dalem junjungannya seolah-olah derajat Sang Prabu dengan Dang Hyang Nirartha disamakan dengan dirinya yang dalam keadaan compang-camping selayaknya seorang pengemis.

Tetapi Brahmana Keling bersikeras dan karena suatu sebab rakyat tidak dapat menghalanginya, serta tidak ada yang melihat beliau menuju ke dalam. Akhimya mungkin karena saking payahnya beliau dalam perjalanan panjang Brahmana Keling langsung menuju Pelinggih Surya Chandra, di atas sanalah beliau duduk berstirahat sejenak, untuk melepas penatnya.

Tak berselang beberapa lama datanglah Sang Prabu Dalem Waturenggong, begitu beliau menoleh ke atas Pelinggih Surya Chandra alangkah terkejutnya hati beliau serta merta dengan muka yang merah padam. Karena murkanya beliau langsung memanggil prajurit untuk menanyakan siapa gerangan orang itu yang telah berani duduk di atas sana. Prajurit menjawab bahwa orang itu (Brahmana Keling) memang dari tadi dilarang masuk, lebih-lebih ia mengaku sebagai saudara Sang Prabu dan Dang Hyang Nirartha yang sangat ingin bertemu dengan Sang Prabu. Tetapi entah mengapa orang itu tidak disangkanya sudah ada di atas Pelinggih Surya Chandra, rakyat dan prajuritnya serta semua yang ada disana sangat terkejut dan keheranan.

Mendengar apa yang dilaporkan oleh para prajurit dan para pengayah, bertambah murkanya Sang Prabu, seketika itu dengan suara yang bergetar keras memerintahkan para prajurit, pengayah dan rakyat untuk segera menyeret keluar orang yang disangka gila itu. Serta merta prajurit dan masyarakat mengusir Brahmana Keling dengan suara sorak sorai, karena saking mulianya hati Brahmana Keling sebab sama sekali beliau tidak mengadakan perlawanan apa-apa akhirnya beliau mengalah karena perintah keras Sang Prabu yang sudah tidak mengakuinya lagi sebagai saudara.

Sebelum Brahmana Keling meninggalkan Pura Besakih pada saat pengusiran dirinya Beliau lalu mengucapkan Kutuk Pastu yang isinya : "Wastu tats astu karya yang dilaksanakan di Pura Besakih ini tan Sidakarya (tidak sukses), bumi kekeringan, rakyat kegeringan (diserang wabah penyakit), sarwa gumatat-gumitit (binatang-binatang kecil / hama) membuat kehancuran (ngrubeda) di seluruhjagat (bumi) Bali ". Begitu suara Brahmana Keling keluar seperti halilintar menyambar di Siang bolong semua masyarakat menyaksikan dengan menganga, terpaku tak berkutit sedikitpun, lalu Brahmana Keling meninggalkan pura Besakih menuju Barat Daya.

Dalam perjalanan beliau dari Besakih menuju Badanda Negara, semuanya tidak ada yang tabu secara persis seperti perjalanan petualang-petualang lainnya. Menurut perkiraan penulis kemungkinan Brahmana Keling menuju suatu tempat dengan jalan mays (ilmu menghilang), sebab selama perjalanan beliau sampai saat ini belum ada bukti tanda-tanda tempat persinggahan maupun tempat peristirahatan dan dalam jangka waktu yang sangat singkat. Singkat cerita sampailah Brahmana Keling di Badanda Negara yaitu di (Desa Sidakarya sekarang) dan di sini Beliau membuat pesanggrahan pesraman sebagaimana layaknya seorang Brahmin. Arti sesungguhnya Badanda Negara adalah : Badanda=Padanda=Pandan (pahon berduri), Negara=Wilayah. Di pesisir selatan kerajaan Badung banyak ditumbuhi pohon pandan, jeruju dan sejenisnya termasuk pohon bakau. Oleh karena itu daerah pesisir ini lumrah disebut Badanda Negara = Pandan Negara.

Sepeninggal Brahmana Keling dari Pura Besakih tidak berselang beberapa hari suasana sejagat Bali terutama Kraton Gelgel dan sekitarnya mulai menampakkan situasi yang tidak mengenankan. Seperti ucapan Sang Brahmana, semua tanaman pohon pohonan yang berguna bagi pelaksanaan penunjang karya seperti : kelapa, pisang, padi, sayuran dan sebagainya semua layu, buah berguguran, wabah / hama seperti : ulat, tikus dan lain-lain semakin banyak dan ganas menyerang tanaman-tanaman para petani, bumi seketika kering kerontang, wabah penyakit merajalela menyerang penduduk keadaan sangat mengerikan (gerubug) antara pengayah bertengkar tanpa sebab dan semuanya dalam keadaan kacau balau.

Sehingga jadwal pelaksanaan karya urung dilaksanakan, karena sudah tidak memungkinkan untuk diteruskan. Melihat kenyataan seperti ini lalu Dang Hyang Nirartha diperintahkan oleh Ida Dalem melakukan upakara pembasmian dengan melakukan tapa semadi juga tidak mempan dan bahkan semakin menjadi-jadi, semua keadaan serba menyedihkan akhinya Ida Dalem sendirilah yang turun tangan, memerintahkan Dang Hyang Niratha, untuk membuat upakara lanjut mengadakan tapa semadi.

Pada suatu malam Dalem Waturenggong mengadakan semadi di Pura Besakih. Beliau mendapat pewisik petunjuk dari Ida Betara yang bersthana di Pura Besakih, bahwa Beliau telah berdosa mengusir saudaranya sendiri secara hina dan untuk mengembalikan keadaan seperti sedia kala hanya Brahmana Kelinglah yang mampu melakukan hal itu.

Setelah mendapatkan petunjuk (pawisik), esok harinya langsung Ida Dalem memanggil Perdana Mentrinya Arya Kepakisan (Gusti Agung Petandakan) serta memanggil para Patih lainnya seperti Arya Pengalasan, Arya Ularan dan lain-lain termasuk para punggawa untuk mengadakan sidang. Dalam sidang tanpa agenda tersebut memutuskan agar secepatnya menjemput Brahmana Keling yang pernah diusinya. Karena beliaulah yang dapat mengembalikan situasi kekeringan seperti ini serta beliau sekarang ada di Badanda Negara (Pandan-Negara) di pesisir selatan Kadipaten Badung. Pada waktu itu yang menjadi Raja (anglurah) Badung adalah I Gusti Tegeh Kori (Dinasti Tegeh Kori). Namun di sini tidak diketahui secara jelas siapakah senapati yang diutus menjemput Brahmana Keling ?.

Singkat cerita berangkatlah rombongan penjemput Brahmana Keling ke Badanda Negara, pertama-tama menuju Keraton Tegeh Kori di Badung untuk meminta petunjuk lebih lanjut akhirnya menuju Badanda Negara (Pesisir Selatan Kerajaan Badung = Sidakarya sekarang). Sesampainya rombongan di Badanda Negara bertemulah dengan Brahmana Keling lalu rombongan menghaturkan sembah sujud mohon ampun sekaligus menceritakan tentang maksud kedatangannya menghadap Sang Brahmana. Sesuai dengan perintah Ida Dalem memohon agar Ida Brahmana Keling bersedia datang kehadapan Dalem Waturenggong sesegera mungkin. Begitu mendengar cerita dan permohonan utusan Dalem Waturenggong, Ida Brahmana Keling sudah mengerti dan menanggapi semuanya, selanjutnya mempersilahkan kepada utusan rombongan Dalem segera berangkat duluan, Brahmana Keling akan menyusul.

Perjalanan kembali Brahmana Keling ke Puri Gelgel lanjut Basakih tidak ada yang tahu. Beliau sudah ada duluan dengan rombongan penjemputnya di hadapan Dalem Waturenggong di Pura Besakih. Setibanya Brahmana Keling di Pura Besakih barulah beliau disambut selayaknya tamu kebesaran dan diperlakukan dengan sangat sopan hormat dan ramah.

Dalam percakapan beliau berdua yang disaksikan juga oleh Dang Hyang Nirartha, pada dasarnya bahwa apabila Brahmana Keling mampu mengembalikan kekeringan, kegeringan, keamanan dan kenyamanan jagat Bali seperti sedia kala maka Dalem Waturenggong berjanji dan bersedia mengakui memang benar Brahmana Keling saudara Dalem Waturenggong. Mendengar sabda Ida Dalem sedemikian Brahmana Keling dengan senang hati menyanggupinya, seketika itu pula tanpa prasarana, sesajen apapun beliau hening sejenak mengucapkan mantra-mantra dan dengan kekuatan batin yang luar biasa terbuktilah:
  1. Ayam hitam dikatakan putih, benar-benar menjadi putih.
  2. Kelapa yang kekeringan, layu tanpa buah seketika berubah menjadi subur, hijau dan dengan buah yang sangat lebat, begitu juga pisang yang kuning dan layu dikatakan hidup kembali dan berbuah ternyata benar.
  3. Hama tikus, walang sangit, wereng, ulat, dan sebagainya yang menyerang tumbuh-tumbuhan dikatakan lenyap, langsung lenyap seketika.
  4. Bumi kering menjadi subur.
  5. Masyarakat rakyat kegeringan seketika menjadi sehat walafiat.
Apa yang diucapkan Brahmana Keling betul¬betul terbukti sehingga Ida Dalem, Danghyang Nirartha serta hadirin semua yang menyaksikan dengan penuh keheranan dan terpesona, karena dihadapannya terjadi hal-hal aneh yang menakjubkan. Akhinya pada saat itu juga Dalem Waturenggong mengakui bahwa Brahmana Keling adalah saudaranya sendiri.


Pelaksanaan karya di Pura Besakih, sehabis situasi tersebut, dapat dikembalikan seperti sediakala dan bahkan keadaannya lebih baik dari hari-hari sebelumnya, sehingga karya dapat dilanjutkan kembali. Karya di Pura Besakih pada saat itu sesungguhnya tingkat karya Eka Dasa Rudra yang dilaksanakan Purnamaning Sasih Kedasa ± tahun Saka 1437 = 1515 Masehi (abad ke-16). Pada pelaksanaan karya Eka Dasa Rudra tersebut sekaligus dipimpin oleh Dang Hyang Nirartha dan Brahmana Keling. Karena sebelumnya Bali (kerajaan Gelgel) pernah mengalami kegeringan, maka pada saat karya Eka Dasa Rudra juga dirangkaikan dengan karya Nangluk Merana. Jadi, pada saat itu dilaksanakan dua rangkaian karya pokok di Pura Besakih dan lumrah disebut "Karya Nangluk Merana".

Berkat jasa Brahmana Keling yang mampu menciptakan kesejahteraan alam lingkungan yang lebih baik dari tahun ke tahun, hasil alam/bumi yang melimpah ruah sebagai sarana prasarana suksesnya pelaksanaan karya, sehingga karya dapat berjalan dengan aman, nyaman dan sukses / berhasil sidakarya sesuai dengan harapan Ida Dalem Waturenggong. Oleh karenanya Brahmana Keling dianugrahi gelar Dalem. Mulai saat inilah Brahmana Keling mabiseka Dalem Sidakarya. Lanjut dibuatkan upacara pediksan sebagaimana mestinya.

Saking gembiranya Ida Dalem karena karya yang dilaksanakan betul-betul berhasil (Sidakarya), selain gelar Dalem yang dianugrahkan, atas nasihat dan anjuran Dang Hyang Nirartha (disamping itu mungkin karena, sabda Hyang Pramawisesa) Dalem Waturenggong di Pura Besakih dihadapan para Menteri / Patih / Para Arya di kiri kanan Dalem Waturenggong duduk Dang Hyang Nirartha dan Dalem Sidakarya, bersabda :
  1. Mulai saat ini dan selanjutnya bagi setiap umat Hindu di seluruh jagat yang melaksanakan karya wajib (wenang) nunas tirta Penyida Karya yang bertempat di Pesraman Dalem Sidakarya, supaya karya menjadi Sidakarya (Pemuput karya), yang terletak di pesisir selatan Jagat Badung (= di Desa Sidakarya sekarang).
  2. Pada setiap upakara wajib disebarkan sarana serba sidakarya seperti : Sayut Sidakarya untuk dibanten (sesajen) dan jejaitan, Tipat Sidakarya untuk boga (makanan / kesejahteraan), Topeng Sidakarya untuk wali (keselarasan).Tujuannya supaya semua penunjang pelaksanaan karya serba sidakarya = berhasil.
  3. Demi sempurnanya pelaksanaan karya wajib mementaskan Wali Topeng Sidakarya. (Tirta Sidakarya sebaiknya diiringi Topeng Sidakarya dari Sidakarya).
  4. Wajib nunas Catur Bija dan Panca Taru Sidakarya. Itulah lebih kurang isi sabda Dalem Waturenggong pada saat itu yang sampai sekarang ini dan seterusnya wajib dipatuhi oleh umat Hindu sejagat.
Catatan
Catur Bija maksudnya adalah :
  1. Beras : sebagai jatu pada makanan / boga (bagi kesejahteraan para pelaksana karya).
  2. Ketan : sebagai jatu pada membuat jaja (jajan) uli barak-uli putih (begina dan lain-lain).
  3. Beras merah : sebagai jatu untuk membuat bubur bebanten untuk serba tumbuh2an.
  4. Injin: sebagai jatu pembuatan tetandingan sarwa banten untuk caru dan lain-lain.
Kesemuanya itu secara umum (Catur Bija) digunakan untuk penginih-nginih karya dan pengingsahan karya, sebagai ajengan catur dalam kegiatan yadnya. Jatu ini sebelum dipergunakan ditaruh di penetegan beras.

Panca Taru bukan dimaksud kayu istimewa melainkan seperti : Cempaka dan Sandat, kedua kayu ini merupakan simbolis jatu untuk wewangunan suci akan tetapi serpihannya (tampalan) Bering dipergunakan sebagai jatu api pasepan.
  1. Naga sari untuk jatu sebagai pelengkap tetandingan bebanten.
  2. Dadap untuk penuntun tirta, berisi benang tukel, andel-andel uang kepeng.
  3. Kelapa (kloping, danyuh, paang, daun kelapa muda/busung) sebagai jatu alat untuk masak - memasak di dapur (pewaregan), pengesengan sekah dan pengesengan penimpugan.
  4. Janur / Busung untuk jatu sarwa jejaitan.

Beberapa kayu sekarang ini sangat langka tetapi apapun yang dapat diterima dari pura itulah dia sebagai jatu panca taru dari Sidakarya.

Sumber Sejarah Dalem Sidakarya

Secara umum Babad Sidakarya banyak orang sudah tahu, namun keberadaannya belum banyak yang mengenal secara lengkap dan bahkan sangat langka diangkat dalam bentuk tulisan, seperti buku yang Berjudul Babad Sidakarya, dengan penyusun I Nyoman Kantun, SH. MM dan Drs. Ketut Yadnya, diterbitkan oleh PT Upada Sastra yang persembahkan kepada umum (khususnya umat hindu) sejagat.

Untuk dan oleh karena itu ke dua penyusun Sabad Sidakarya mencoba mengangkat isi lontar Bebali Sidakarya, juga memaparkan keberadaan beliau, serta hal-hal keunikan yang ada di Desa Sidakarya sampai sekarang ini yang keberadaanya berbeda seperti desa pekraman pada umumnya yang ada di Bali. Disamping itu turut serta melengkapi koleksi perpustakaan khususnnya tentang dunia Babad (Babad Sidakarya). .

Dalam mengangkat tulisan/Babad ini sepanjang pengetahuan mereka hanya ada satu sumber tulisan yaitu “Lontar Bebali Sidakarya” yang merupakan koleksi (duwe) Ida Pedande Gede Nyoman Gunung dari Griya Gunung Biau, Desa Muncan, Karangasem, dan Prasasti Babad Sidakarya duwe Ida Dalem dari Puri Klungkung,. Kedua lontar ini disimpan dan di sungsung sebagai Prasasti di Pura Mutering Jaghat Sidakarya.

Demi sempurnanya dan kelengkapannya tulisan ini disamping secara pokok bersumber dari Lontar Bebali Sidakarya kedua penusun ini juga mendapatkan petunjuk-petunjuk dari pini sepuh, sesepuh, pengelingsir yang ada di desa Sidakarya secara tekun meneruskan cerita ini secara turun temurun dari tahun ke tahun tanpa putus, di antaranya :
  1. I Wayan Rugeg (almarhum)
  2. I Wayan Reka (almarhum)
  3. I Made Gerda (Pemangku Lingsir Pura Mutering Jaghat Dalem Sidakarya)
  4. I wayan Roka (Sesepuh Desa Sidakarya)
  5. I Made Rabayasa (Mantan Bendesa Adat Sidakarya)
  6. Dan beberapa tokoh yang telah banyak membantu kami sehingga terwujud karya tulis seperti ini.

Gempa Merusak Pura Dalem Suda Sidakarya

Gempa yang terjadi di Denpasar, Bali Pada hari Rabu, 13 Oktober 2011, pukul 11: 16: 27 Wita Gempa dengan kekuatan 6,8 SR, pada lokasi 989 LS - 114,53 BT di kedalaman 10 km dari bawah laut arah 143 Km Barat Daya Nusa Dua Bali. mengakibatkan berbagai kerusakan pada bangunan pemerintah, gedung milik swasta / masyarakat dan tempat ibadah serta menimbulkan korban luka-luka. .

Kerusakan yang ditimbulkan akibat gempa ini khususnya di Desa Sidakarya selain menimbulkan korban luka juga merusak rumah warga, Sekolah SMK N.2 Denpasar genteng dan tembok retak berakibat 4 Orang Guru dan 25 orang siswa terkena jatuhan genteng sudah dibawa kerumah sakit Sanglah, komputer 2 buah rusak , sepeda motor 10 buah rusak, ruang kelas Akutansi dan Perbankan gentengnya rusak dan begitu juga ruang atap-atapnya jatuh, Desa Sidekarya, Balai Banjar Kangin Desa Sidakarya Pemugbugnya rusak genteng-gentengnya jatuh. SLB Negeri Sidakarya, Gedung kelas belakang atapnya dan temboknya retak-retak dan juga 1 orang guru perwakilan kepala sekolah cedera. .

Selain bangunan rumah dan sekolah di Desa Sidakarya, gempa juga merusak Pura Dalem Suda Sidakarya seperti:
  1. Gedongnya dengan dinding retak




  2. Candi Kurung dengan atap atas jebol




  3. Candi Bentar di Jaba Sisi atap sebelah selatan putus




  4. Candi Bentar di Jaba Sisi kedua atap atas Pura Kayangan putus

Banjir Merendam Rumah Di Desa Sidakarya

Hujan lebat yang disertai angin kencang mengguyur Kota Denpasar dan sekitarnya sejak Sabtu Malam 10 Januari 2009 hinggga Minggu 11 Januari 2009 dan pada hari itu bertepatan juga dengan Malam Purnama menyebabkan beberapa ruas jalan di Denpasar tergenang menyebabkan kendaraan terjebak serta ratusan rumah terendam setinggi pinggang orang dewasa. Banjir terjadi di pemukiman di kawasan Sanur, Sidakarya, Padangsambian, Pura Demak. Kawasan lainnya yang terendam banjir diantaranya Jalan Raya Puputan, Jalan Batang Hari, Jalan Siulan, Jalan Tukad Bilok, Jalan Petanu, Panjer, Kompleks Pertokoan Suci serta beberapa wilayah di Kuta. Air mulai meninggi diperkirakan sekitar pukul 03.00 wita sampai Minggu Pagi yang mencapai sepinggang orang dewasa.

Disamping merendam rumah warga, banjir di Denpasar kali ini juga menyebabkan sebuah jembatan di kawasan Jalan Siulan Denpasar timur juga dilaporkan ambruk. Sementara satu orang warga di Jalan Tukad Languan Denpasar di laporkan terseret arus banjir dan berhasil dievakuasi dengan selamat. .

Salah satu wilayah yang terparah terendam banjir adalah Area Banjar Kerta Sari, Banjar Kerta Dalem Sari dan Banjar Kerta Dalem, Desa Sidakarya, Denpasar Selatan. Ketinggian air diwilayah ini antara 1 meter sampai 1,5 meter, tak ayal merendam rumah warga yang terbanyak terendam banjir terjadi di Banjar Kerta Dalem. Banjar Kerta Dalem yang dihuni oleh 221 KK tersebut seluruhnya terendam banjir dengan ketinggian 1 meter sampai 1,5 meter, begitu juga Banjar Kerta Sari yang dihuni 260 KK, sebagaian rumah warga terendam banjir setinggi 1 meter, yang terparah di Gang Cemara dan Gang Kertajaya dengan ketinggian air 1,5 meter. .

Melihat kondisi banjir kali ini yang cukup besar, Minggu Pagi Wali Kota Denpasar IB Rai Dharmawijaya Mantra langsung menerjunkan tim penanggulangan bencana. Tim yang terdiri atas beberapa instansi terkait, seperti Basarnas, Petugas Kesehatan, Satpol PP, dan dibantu oleh Warga Desa Sidakarya, yang langsung diterjunkan ke lokasi-lokasi yang terendam banjir untuk ikut melakukan evakuasi terhadap warga yang terkena musibah. Warga yang rumahnya terendam segera diminta untuk dievakuasi ke tempat yang lebih aman, namun ada juga beberapa pemilik rumah enggan dievakuasi terutama bagi penghuni rumah berlantai dua. Meskipun tidak sampai menelan korban jiwa namun banjir pada Minggu 11 Januari 2009 ini merupakan banjir terparah yang pernah terjadi di Desa Sidakarya yang merendam rumah warga, puluhan motor dan mobil serta merusak barang-barang elektronik lainnya.



Penyebab terjadinya banjir kali ini yang merendam rumah di Banjar Kerta Sari, Banjar Kerta Dalem Sari dan Banjar Kerta Dalem, Desa Sidakarya, disamping curah hujan yang tinggi juga bertepatan dengan Purnama dimana air laut yang pasang menghambat aliran air di Sungai Tukad Punggawa yang mana bermuara di Hutan Manggrove Wilayah Desa Sidakarya, aliran airnya yang seharusnya mengalir lancar ke muara justru terhambat dan tertahan oleh air laut yang pasang dan air laut yang pasang tersebut masuk melalui muara Tukad Punggawa ini.

Tukad Punggawa Sidakarya

Karya Memungkah Ngenteg Linggih Dan Pedudusan Agung di Pura Mutering Jagat Sidakarya

Pura Dalem Mutering Jagat Dalem Sidakarya adalah salah satu Pura Kayangan Jagat yang diempon oleh 5 (lima) banjar adat yang ada di Desa Pekraman sidakarya yaitu : Br Dukuh Mertajati, Br Sekar Kangin, Br Tengah, Br sari dan Br Suwung Kangin, Pura yang terletak di Jalan Dewata, Desa Pekraman Sidakarya, Denpasar Selatan ini dibangun kira-kira tahun 1518 M (= Saka 1440) pada masaPemerintahan Dalem Waturenggong, dalam pembangunan pura ini Dalem Waturenggong mendirikan Parhyangan/Pura "Dalem Sidakarya" mengenang jasa Dalem Sidakarya dan sebagai Parhyangan tempat nunas Tirta Sidakarya bagi seluruh umat Hindu.
Untuk menjaga kelangsungan pura ini, maka melalui Paruman Desa Pekraman Sidakarya, yang dipimpin oleh Bendesa Pekraman Sidakarya I Ketut Mintra, Pura Dalem Mutering Jagat Dalem Sidakarya akhirnya dipugar dan direnovasi melalui tiga tahap pembangunan dari tahan pertama pembangunan di areal Utamaning Mandala mulai dari Nasarin Hari Rabu, 10 September 2003 Purnaming Ketiga, tahap kedua diareal Madyaning Mandala mulai pertengahan April 2005 dan tahap ketiga KARYA MEMUNGKAH, NGENTEG LINGGIH, PEDUDUSAN AGUNG, NGUSABA DESA DAN NGUSABA NINI tahun 2006, dengan menghabiskan dana pembangunan fisik kurang lebih sebesar Rp. 1.161.781.480, yang berasal dari sumbangan masyarakat baik perseorangan maupun organisasi, instansi pemerintah dan Iuran Wajib Warga Banjar Adat dan Banjar Dinas sebesar Rp. 300.000/KK, Setelah Pembangunan Pura Dalem Mutering Jagat Dalem Sidakarya selesai, langkah selanjutnya diadakan KARYA MEMUNGKAH, NGENTEG LINGGIH, PEDUDUSAN AGUNG, NGUSABA DESA DAN NGUSABA NINI yang pelaksanaannya dimulai dari Februari 2006 sampai dengan 11 Maret 2006 dengan Puncak Karya pada tanggal 4 Maret 2006 dengan menghabiskan dana kurang lebih sebesar Rp. 898.679.865, yang juga berasal dari sumbangan masyarakat baik perseorangan maupun organisasi, instansi pemerintah dan Iuran wajib warga banjar sebesar Rp. 200.000/KK dengan jumlah KK keseluruh di Banjar Adat Desa Pekraman Sidakarya sebanyak 603 KK.

Adapun Dudonan Acara KARYA MEMUNGKAH, NGENTEG LINGGIH, PEDUDUSAN AGUNG, NGUSABA DESA DAN NGUSABA NINI sebagai berikut :
  1. Hari Jumat, 24 Februari 2006 Pemelapasan dll
  2. Hari Senin, 27 Februari 2006 Melasti, Mendak Siwi, dll
  3. Hari Rabu, 1 Maret 2006 Tawur Agung dan Undangan Para Pejabat Pemerintahan, dll
  4. Hari Sabtu, 4 Maret 2006 PUNCAK KARYA
  5. Hari Minggu, 5 Maret 2006 Ngusaba Desa, Ngusaba Nini, dll
  6. Hari Sabtu, 11 Maret 2006, Nyenuk Keliling Desa sekaligus Nyineb
KARYA MEMUNGKAH, NGENTEG LINGGIH, PEDUDUSAN AGUNG, NGUSABA DESA DAN NGUSABA NINI dapat berjalan dengan lancar berkat kerjasama seluruh komponen masyarakat dengan menghabiskan biaya keseluruhan mulai dari Pembangunan Fisik sampai Mekarya sebesar Rp. 2.060.398.345.